Kamis, 06 Mei 2010

Munding Kawati

Kisah ini dimulai di negara Haur Doni, suatu daerah di wilayah Pajajaran. Konon bertahta Prabu Munding Kawati, keturunan Prabu Siliwangi. Sang Prabu memiliki seorang patih, bernama Aria Mangkunagara. Sedangkan Lengsernya, bernama Laya Dipa Cakra Jengjen.

Sang Prabu beristri dua, keduanya berparas cantik, ibarat terong dibelah dua - jambe dibelah dua, turunan bidadari Kahyangan. Pertama Den Ayu Ratna Sari, kedua Ratna Kembang Purba Inten.

Konon pada suatu hari, kedua istri Sang Prabu bertapakur dikaputren, tiba-tiba jatuh tertidur, lupa dan hilang lakunya, terganti suatu mimpi. Didalam mimpinya itu, datang kucing candramawat, bersender dan mengelendot, naek kepangkuannya. Dalam mimpinya mereka melihat dapur rusak dan berantakan, cobek di tempat dandang, dandang jatuh terguling, dulang teu puguh tempat, sumawona nu lianna, semua serba berantakan, ibaratnya kapal pecah. Mereka pun memimpikan pula negara Haur Doni terendam air, banjir yang sangat tinggi, Sang Prabu naik perahu kencana, berlayar ketengah banjir, namun tenggelam ditengah, dan hanyut terbawa banjir. Ketika mereka bangun, basah keringat membalut, disertai rasa cemas, mimpi seolah-olah nyata, bukan hasil buah tidur. Keduanya sepakat menceritakan, kepada Sang Prabu Munding Kawati.

Mendengar kisah para istri, Sang Prabu tidak percaya, namun kedua istri mendesak Sang Prabu untuk mencari akhli penafsir mimpi. Sang Prabu perintahkan Patih memanggil Ua Lengser, untuk menafsirkan mimpi para istrinya.

Alkisah dalam pantun ini, Ua Lengser beristri tiga, seperti lagunya Dewa, yakni Ambu Ganjen, Ambu Gombrang ketiga Ambu Peletuk. Ua Lengser digambarkan, seperti rakyat biasa, namun punya keunggulan, lebih bijak dari raja, lebih pandai dari ratu, diandakan banyak orang, sebagai tempat bertanya, sering tuntaskan masalah. Ua Lengser dipisepuh ku saluruh, dipikolot ku sadaya, sehingga pada akhirnya, jadi penasehat raja, dituakan masyarakat, dipercaya kerabat kraton.

Ketika sang raja memanggil, Lengser sedang bencengkrama, bersama tiga istrinya, di bale-bale rumahnya. Dari alun-alun keraton terdengar teriakan Patih yang memanggil-manggil namanya. Semula Ua Lengser pura-pura tak mendengar, tapi atas desakan ketiga istrinya, Ua Lengser berangkat juga. Istrinya hanya mendesak : “ itu panggilan negara, maka Lengser harus datang”.

Setibanya Ua Lengser, diceritakan mimpi keduanya. Tak seperti biasanya, Lengser merenung sejenak, berpikir kerutkan dahi, jawaban tak muncul jua. Ua Lengser sangat paham, mimpi teh hiji ciciren, , totonden ti Hyang Widi, akan tiba masa susah, masa sulit bagi raja, masa buruk keur nagara, Haur Doni sejatinya.

Ua lengser memahami, ada tiga peristiwa, yang akan menimpa raja. Pertama, tandanya kucing, ciri permaisuri hamil. Kedua, kondisi dapur, ditemukan berantakan, pertanda rumah tangganya, biasanya berantakan. Ketiga, nasib sang Prabu, ia pun terbawa banjir, perahu hilang tenggelam. Mimipi itu ditafsirkan, Sang Prabu akan perlaya. Ua lengser jadi bingung, bagaimana menjawabnya, akhirnya ia berbohong, “tidak tau tafsir itu”, ia pun berpamit diri, bergegas segera pulang. Didalam perjalanannya, Ua lengser terus berpikir, akhirnya berksimpulan, harus siap sejak kini, sing caringcing pageuh kancing, sing rariket pageuh ikeut.

Kedua istri sang Prabu paham betul sikap Lengser, inilah alamat buruk, akan dialami negri. namun raja tetap keukeuh, mimpinya alamat baik, konon menurut Sang Prabu, negara tambah wilayah, dari 13 menjadi 14, ada negara lain bergabung, sehingga semakin luas. Tak cukup sampai disitu, Sang Prabu pun perintahkan, agar sang Patih yang gagah, menyambut di batas negeri. Tunda.

-o0o-

Tersebutlah suatu negeri yang bernama Kuta Daha, diperintah dua raja, adik – kakak yang bertahta. Pertama Gagak Sagara, kedua Badak Komalang. Raja punya adik putri, bernama Nyi Sunten Wayang. Kedua raja itu belum punya permaisuri, mereka minta istri cantik, keturunan bidadari. Karena itu sebabnya, kedua raja inginkan, istri Sang Munding Kawati. Sang raja Gagak Sagara micinta Nyi Ratna Sari, sedang Sang Badak Komalang mitresna Sang Ratna Kembang. Menginginkan istri orang tentu sangat tidak lajim, ditentang Nyi Sunten Wayang. Mereka dinasehati agar mengurungkan niat, namun memang agak sulit, karena telah jatuh cinta.

Engkang ulah : 
  • Adigung adiguna
  • Adiguna adigana
  • Adiguna adicana
  • Adigung adiwarna
Nasehat Nyi Sunten Wayang, mengandung banyak tuntutan, terutama empat makna, mengandung tuntunan moral. Adigung adiguna artinya semena-mena, dilakukan oleh orang, yang suka merasa gagah dan paling berkuasa. Adigung adigana biasanya dilakukan, orang yang merasa pandai, orang lain bodoh semua, akhirnya semena-mena. Adiguna adicana artinya merasa kaya, merasa diri berpunya, banyak harta banyak pangan, orang lain kalah api, akhirnya semena-mena. Adigung adiwarna artinya merasa ningrat, orang lain semua somah, tidak mau menghargai, sesama mahluk lainnya, akhirnya semena-mena. Manusia harus jujur, tak boleh menghina orang. Meskipun manusia gagah, tapi jika ceroboh pinasti akan perlaya. Meskipun dirinya pandai, jika dirinya tak benar tentu akan kabalinger. Manusia harus taat, kepada aturan hidup, tidak boleh umbar nafsu, dilarang berbuat jahil karena membawa celaka.

Nasehat Nyi Sunten Wayang tidak dapat memadamkan keinginan dua raja. Maklum raja lagi linglung “gering nantung ngalanglayung”’ teringat putri yang cantik. Kedua raja amarah, dan tetap keukeuh niatnya, untuk beristrikan putri, istri Sang Munding Kawati.

Konon dalam kisah Pantun, berangkatlah dua raja, ngajugug ke Haur Doni. Masuk hutan keluar hutan, kurusuk na leuweung busuk, turun gunung unggah gunung, hingga sampai di tepian, di bukit Ciputih Nunggal. Kedua raja pun tau, di tapal batas negara, Haur Doni yang termashur, mereka akan disambut, sang maha Patih negara. Namun sang Mangkunagara, berniat menyambut tamu, sebagai perintah raja, tamu yang akan berkunjung, menyerahkan wilayahnya, bergabung ke Haur Doni. Agar tak terbaca niat, Sang raja Gagak Sagara, dan raja Badak Komalang, memutuskan salin rupa, menjadi dua lelaki, yang jelek tiada tara. Mereka berganti nama, menjadi nama yang lain, Sang Aki Lutung Pudingdang, dan Sang Aki Beunjing Menir. Kedua lelaki itu, menuju ke perbatasan, yang dijaga para laskar, dan Aria Mangkunagara. Sebelum mereka pergi, menyimpan semua pakaian, juga ajimat miliknya, dihutan Ciputih Nunggal.

Ditapal batas nagara, keduanya pun dicegat, para laskar Haur Doni, ditanyakan tujuannya. Mereka lalu menjawab, adalah utusan raja, dari negri Kuta Daha. Tujuan ke Haur Doni, hendak menyerahkan negeri, kepada Sang Raja Sakti, Munding Kawati wastanya. Merekapun diantarkan, masuk ke wilayahan keraton, sambil disambut gembira, rakyat dan pengisi keraton. Tunda.

-o0o-

Tak lama waktu berselang, mereka tiba di kraton, langsung dibawa sang Patih, dihadapakna ke Sang Prabu. Mereka pun bercerita, tentang maksud keduanya, diutus kedua raja, negaranya Kuta Daha. Sang raja di Kuta Daha, berniat serahkan negeri, dibawah daulat tuan Sang Raja di Haur Doni. Sang Prabu Munding Kawati, percaya dua utusan, bahkan ia menafsirkan, inilah totonden mimpi, para kedua istrinya. Namun kedua istrinya, masih tak percaya itu, mereka sangat curiga, mimpinya tidak begini. Mereka harus waspada, kemungkinan yang terjadi, karena kedua tamu, dianggap mencurigakan. Kedua tetamu itu, lantas mengajak Sang Prabu, berangkat ke Kuta Daha, ngaroris se isi negeri. Sang Prabu lantas berangkat, bersama dengan utusan, mereka hanya bertiga. Sang Prabu ti Haur Doni, tidak dikawal sang Patih, apalagi bawa laskar, ia pun jalan sendiri. Sang Prabu sebelum pergi, meninggalkan ajimatnya, ia tak bawa senjata, untuk alat beladiri.

Dikisahkan ketiganya, berjalan di tengah hutan, menuju wilayah baru, negaranya Kuta Daha. Sampai disuatu Gunung, Ciputih Nunggal namanya, Sang Prabu merasa letih, ia pun berniat rehat, melepaskan rasa penat. Ketika beristirahat, Sang kakek utusan pergi, berniat menuju pohon, disebut lambetang tiga. Mereka ganti pakaian, tak lupa membawa jimat, mereka malih rupanya, menjadi Gagak Sagara, dan juga Badak Komalang. Mereka pun menghampiri, Munding Kawati yang letih, terduduk di bawah pohon, yang sedang melepas lelah.

Sang Prabu Munding Kawati, alangkah merasa kaget, melihat kedua orang, berpakaian raja negeri. Lantas Sang Prabu bertanya, “siapakah anda raja, dan dari mana asalnya ?”. Sang Raja Gagak Sagara, dan juga Badak Komalang, terus mereka menjawab, sesuai yang diniatkan, menuju ke Haur Doni. Semakin kaget Sang Prabu, mendengar kedua raja, yang hendak menguasai, Haur Doni dan istrinya. Mereka bertarung seru, walau Sang Munding Kawati, tak juga bawa senjata, terutama ajimatnya. Sang Prabu Munding Kawati, masih tangguh untuk kalah, tak berhasil dilukai, apalagi ditaklukan.

Perkelahian yang seru, mengguncangkan marcapada, menembus swarga loka. Dewa-dewa di Swarga, sangat bingung dibuatnya, terjadilah kekacauan, tak juga tahu sebabnya. Setelah mereka kumpul, baru tahu masalah nya, di marcapada yang fana, ada pertempuran sengit, antara kedua raja, bertahta di Kuta Daha, dengan satu orang raja, penguasa di Haur Doni.

Para Dewa pun tahu, tempat terjadinya perang, di gunung Ciputih Nunggal, daerah dikeramatkan. Hyang Guru Winawacandala, berada di swarga loka, harus segera bertindak. Perang bertiga seimbang, tidak ada yang mengalah, tidak juga bisa menang, jika ini dibiarkan, akan jadi kerusakan. Konon di swarga loka, bidadari pada sakit, pohon-pohon pada layu, terus jadi kekacauan. Hyang Guru memutuskna, untuk segera kebumi, menemui sang Cucunda, Sang Prabu Munding Kawati. Tanpa terlihat yang lain, Hyang Guru membisikan, agar sang Munding Kawati, mau segera mengalah. “Jika engkau harus mati, maka anakmu lah yang membalas, karena kedua istrimu, mereka sedang mengandung”.

Sang Munding Kawati bingung, namun ini titah Dewa, tidak bisa dipungkiri, harus taat harus tunduk. Tak lama waktu berselang, Munding Kawati berkata, seraya mengakuinya, sumber kelemahan raga, yang ada di paha kiri. Tanpa ada perasaan, langsung kedua musuhnya, menghantamkan bayu kuning, maka gugur lah sang Prabu. “Ngarumpuyuk dina batu cadas karintang kuning, batu tulis pangtapaan, handapeun lambetang tilu, di gunung Ciputih Nunggal”.

Sudah dapat dipastikan, peristiwa selanjutnya, Sang raja Gagak Sagara, dan juga Badak Komalang, menuju ke Haur Doni, untuk memboyong sang putri, istri Sang Munding Kawati. Tunda

-o0o-

Setelah sang Prabu pergi, bersama dua utusan, kedua istri gelisah, tidak tenang tidak senang, mereka sangat khawatir, nasib Sang Munding Kawati. Firasat pun makin kuat, mereka telah pastikan, Sang Prabu telah perlaya. Itulah sebab mereka, berniat mencari layon, sang suami yang tercinta, hingga mereka pun tiba, di gunung dan hutan-hutan, namun tak juga bersua.

Kedua istri sang Raja, akhirnya berputus asa, mereka pun meniatkan, pergi ke swarga loka, swarga loka manggung tepatnya. Sampai mereka disana, diterima Hyang Guru. Hyang Guru pun berkata : “Suami mu telah wafat, layonnya tak mungkin dapat. Suami dibunuh raja, dari negeri Kuta Daha. Karena kamu berdua, boleh tinggal di swarga. Hingga akan melahirkan, terpaksa harus didunya, karena diswarga loka, tabu untuk melahirkan, melahirkan manusia, karena akan jadi kotor”. Akhirnya kedua putri, mentaati Hyang Guru, mereka tinggal di swarga, hingga waktu melahirkan. Tunda.

-o0o-

Setelah ditinggal Ratu, istana serasa lenggang, tak lagi terlihat sibuk, para emban pun tak nampak. Ua Lengser memeriksakan Istana. Ia melongok kesana, tak nampak ada manusia. Ua Lengser pun berpikir, inilah awal pertanda, mimpi para istri raja, Haur Doni akan hancur, tidak lagi berpenghuni. Ia memeriksa kamar, tempat raja dan kaputren, nampak ada dua guling, diatas ranjang sang raja. Lengser berpikir sejenak, entah apa yang dipikir, ia pun mengambil burung, dimasukan dua guling. Lantas ia selimuti, sepertinya tubuh ratu, yang sedang diselimuti, Ki lengser lantas keluar, tinggalkan kamar kaputren.

Tak lama waktu berselang, Sang raja Gagak Sagara, Badak Komalang adiknya, tibalah di Haur Doni. Langsung masuk ke kaputren, niatnya mencari ratu. Mereka melihat ranjang, ada yang diselimuti, namun selimut bergerak, dikiranya itu ratu, mereka langsung menubruk. Tapi sangat tak terduga, burung yang didalam guling, lantas keluar dan terbang. Mereka pun agak kaget, dan mengira itu ratu, karena kesaktiannya, malih rupa jadi burung. Mereka lari keluar, mengejar burung yang terbang, tapi apalah dayanya, sang burung terbangnya tinggi.

Dua raja Kuta Daha, mencari mengejar burung, turun gunung unggah gunung, sang burung tak kunjung nampak. Hingga disatu daerah, bertemu seorang pria, konon rampok yang terkenal, bernama Ki Rangga Gading. Gagak Sagara bertanya, “Ki silah melihat putri, yang tadi lewat kesini”, Ki Rangga Gading tersenyum, ia sambil puter otak, berniat mengelabui, agar dapat keuntungan. Ki Rangga Gading menjawab : ”tadi ada dua putri, menunggu tuan disana, dibelokan yang ketujuh, ditanjakan yang ketujuh. Kedua putri berpesan, jika nanti tuan datang, tolong sampaikan pesannya, temui dia disana, tapi jangan pake baju, tanggalkan baju disini”. Kakak adik itu nurut, percaya yang diomongkan, namun keduanya bingung, dimana simpan pakaian. Ki Rangga Gede sarankan, :”pakaian tinggal disini, biar saya simpan dulu, nanti pulang tuan ambil, saya pasti menunggunya”. Keduanya lantas pergi, bertelanjang tanpa baju, namun putri yang dicari, tak jua bisa ketemu. Keduanya balik lagi, ketempat Ki Rangga Gading, namun tidak menemukan. Ki Rangga Gading nya lari. Mereka barulah sadar, ditipu Ki Rangga Gading, mengenakan dedaunan. kembali ke Kuta Daha. Tunda.

-o0o-

Di Kahyangan dua putri, sudah merasa waktunya, melahirkan kandungannya, ia pun turun ke bumi, di gunung Ciputih Nunggal. Tak lama waktu berselang, mereka pun melahirkan, keduanya laki-laki, sehat bagja dan waluya.

Di Gunung Ciputih Nunggal, tinggal sepasang raksasa, bernama Yaksa Wayuta. Mereka mencium darah, bau amis manusia, lantas pergi tuk mencari, kearah sumber baunya. Sang Raksasa pun berjalan, berisik tiada kira, menyebabkan angin topan, banyak ranting beterbangan. Kedua putri terkaget, namun tanpa disadari, mereka terbawa angin, yang ditimbulkan buta. Kedua putri pun terbang, melayang ke Jomantara, hingga pada kelak nanti, jatuh dicadas Patenggang, diatas sungai Cilumpang.

Kini tinggal dua bayi, mencari ibu mereka, tak lama waktu berselang, lantas tiba sang Raksasa. Melihat kedua anak, dengan perut sangat lapar, tanpa peduli sekitar, raksasa langsung melahap. Kedua anak di perut, tidak mati masih hidup, malahan didalam perut, bermain perang-perangan. Sang Raksasa bercerita, kepada istri tercinta, betapa sakit perutnya, yang dimakan tidak mati. Sang istrinya malah marah, menuduh ia serakah, mungkin tidak diduganya, bisa menjadi celaka. Kedua anak diperut, sudah bosan bermainnya, berniat hendak keluar, menghirup udara segar. Lantas mereka keluar, melewati tenggorokan, tapi sebelum keluar, dilihatnya cupu manik. Mereka lantas mengambil, cupu manik astagina, yang ada ditenggorokan Raksana Yaksa Wayuta, kemudian tidak lama, sang Raksasa langsung mati. Tapi jasad sang Raksasa, tak lagi nampak bersisa, ia langsung musnah, tak ada lagi bekasnya. Istri Raksasa amarah, dia segera menyerang, namun dua anak itu, dengan mudah membunuhnya.

beres membunuh Raksana, kedua anak berjalan, menuju keluar hutan, mencari tidak menentu. Ditengah hutan yang lebat, mendengar jeritan pilu, dua wanita teriak, dikira penunggu hutan. Kemudian diperiksa, nampaklah dua wanita, tergantung di atas cadas, mereka langsung menolong. Kedua wanita itu, tak disangka sebelumnya, kedua ibu mereka. Mereka pun bercerita, pengalaman masing-masing. Lantas mereka berembug, pergi ke Kuta Daha, untuk menuntut balas, atas matinya sang ayah. Tunda.

-o0o-

Mereka di Kuta Daha, bertemu kedua raja. Sang raja Gagak sagara, sang adik Badak Komalang. Kedua anak menantang, sang raja di Kuta Daha, tidak lah begitu lama, kedua raja terbunuh.

Ratna Sari dan marunya, yaitu Sang Dewi Ratna, meminta dua anaknya, untuk menghidupkan raja, yang telah dikalahkannya. Agar dapat menunjukan, jenasah Munding Kawati. Tak lama waktu menunggu, dua raja hidup lagi, mereka datang menyembah, dua putri dan anaknya. Mereka langsung berikrar, untuk mengabdikan diri. Lantas mereka pun pergi, mencari jasad sang Prabu, menuju Ciputih Nunggal. Maka tak lama berselang, mereka sampai disitu, menemukan jasad mati, milik Sang Munding Kawati. Sang anak membuka ajimat, cupu manik astagina. Sang Perabu dihidupkan. Hirup jagjag dan waluya.

Para istri menghampiri Sang Prabu Munding Kawati, mereka menjelaskan kedua anaknya itu, tak lupa diterangkannya, berhasil menuntut balas. Kedua raja Daha, segera haturkan sembah, mereka berikrar, menyerahkan Kuta Daha. Sang Prabu Munding Kawati, raja yang bijak dan adil, ia pun memafaakannya, dua raja Kuta Daha. Seraya ia ucapkan, “jangan di ulangi lagi”.

Sang Prabu Munding Kawati, ia pun lantas berujar, kepada dua istrinya, : “sekarang memang terbukti, impian adinda benar, ada yang inginkan memperistri adinda putri, dan aku pun dibunuhnya. Tapi aku benar pula, dikarenakan Kuta Daha menyerahkan wilayahnya pada negeri Haur Doni”.

Mereka semua pulang, ke negara Haur Doni. Di tapal batas negara, disambut rakyat semua, tentunya dipimpin sang Patih Aria Mangkunagara dan Ua Lengser. Demikianl kisah Pantun, Carita Munding Kawati.

-o0o-

Pemaknaan daripantun ini hampir sama dengan carita Lutung Kasarung dan Badak Pamalang, syarat dengan lambang hubungan moral langit dengan bumi. Gagak Sagara dan Badak Komalang keduanya entitas yang berbeda, tidak bersatu. Gagak Sagara melambangkan angin dan air, sedangkan Badak Komalang melambang kan tanah dan api, berhadapan dan tidak disatukan dalam suatu entitas yang sempurna, yakni ‘ngancik’ dalam rohani manusia. Mungkin dapat juga ditafsirkan, moral dunia atas yang diwakili Gagak Sagara dengan perilaku dunia bawah, diwakili Badak Komalang, tidak tumbuh dalam rohani manusia, akibatnya membuat keonaran hidup.

Pemaknaan lainnya dapat ditenggarai dari Munding Kawati, seorang raja manusia yang mengemban moral dunia atas, yang patuh kehendak takdir. Ia ikhlas haru mati hanya untuk menjangga keseimbangan dunia atas. Keikhlasan mengemban takdir akhirnya membawa kedalam suatu kebahagiaan yang ia sendiri tidak menduga.

Kemudian pemaknaan tentang mati dan hidup kembali Munding Kawati di gunung Ciputih Nunggal. Tentunya sangat sarat menggambarkan adanya sarana yang menghubungkan dunia atas dengan manusia. Tempat ini paling tepat untuk menghidupkan spirit hidup manusia, agar semua unsur kehidupan dapat bersatu dan ada didalam diri manusia, membentuk suatu harmoni, karena itulah artinya manusia sempurna. Cag (***).

Disarikan Oleh : Agus Setia Permana

Sumber Bacaan :

  • Lima Abad Sastra Sunda, sebuah antologi, Jilid I, Geger Sunten Bandung – 2000.
  • Khazanah Pantun Sunda, sebuah interprestasi, Jakob Sumardjo, Kelir, Bandung – 2006.


Hatur Punten

Untuk perbaikan dan sarana dimohon untuk tinggalkan PESAN, Jawaban dan Hasinya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun



Rajah Cikuray.wmv by Agus 1960