Kamis, 06 Mei 2010

Carita Badak Pamalang


Alas jagat Cirebon Girang, Sugih mukti kaya makmur, terhampar ladang yang subur, terlindungi gunung-gunung. Dijagat Cirebon Girang, kocap ada raja adil, Raja Prabu Sunan Ua Eudeum Jaya. Raja punya banyak perahu, sering dipinjam rakyatnya, kini tinggallah empat sisanya, peminjam tidak kembali.

Kisah sang Juru Pantun, tentang gambaran cirebon, utama Cirebon Girang, jembatan ke Pajajaran.

Sugih mukti beurat beunghar
Gedong barat gedong timur
Gedong siraraden denok
Alas jagat Cirebon Girang
Mledug ka awun-awun
Ngalimbung baris gegedug
Ngajujur baris ponggawa
Uger-uger paseuk pageuh
Jambatan ka Pajajaran
Cirebon Girang

Konon suatu hari, Sang Pangeran Pajajaran, datang bertandang kesana, mencari ilmu linuhung, agar dapat jadi ratu, sangkan hurip jadi menak, jadi manusia waluya, sempurna peneguh negri.

Nu nunggal di Pajajaran
Hayang tulus jadi ratu
Hayang waluya jadi menak
Dek diajar nguncang ngumbara
Geus paceklik ku nini nini
Geus kokoro ku wadon
Geus mararat ku bikang

Sang Munding Sanggawati, putra teureuh Pajajaran, diiringi gegedugnya, Kidang Pananjung katelah, serta Jaksa Gelap Nyawang, kalih Patih Purwakalih, istrinya tak ketinggalan, Nyi Lenggang Garing namanya. Pajajaran waktu itu, berkuasa Sang Narpati, Perabu Geledeg Wayang, didampingi istri cantik, Kentrik Manik Dayang Sunda. Sang Munding Sanggawati pun, punya saudara lainnya, Perabu Munding Malati, Aci Malati kedua, ketiga Sekar Melati.

Sang Pangeran Pajajaran, berniat pinjam perahu, untuk laku mengembara, tujuan kearah timur. Ua Eundeum mengatakan, empat puluh dia punya, sekarang hanyalah empat, peminjam tak pernah balik. Keempat perahu itu, masing-masing punya nama. Pertama Si Beulit Pugur, yang bertuah cepat laju, majunya tak pernah kalah, sangat tahan kena ombak ; kedua si Sima Getih, yang kurang baik di pakai, apalagi untuk perang ; Si Bayuta Ngambang ketiga, mampu hindari halangan, dan tak basah kena ombak ; keempat si Colat Emas, baik untuk calon raja, terutama tuk manusia, sempurna peneguh negeri. Atas petunjuk Wa Eundeum, Sang Pangeran dianjurkan, memilih si Colat Emas.

Artinya si Colat Emas, sama dengan belang putih, warna dikepala kuda. Tapi warna colat ini, bisa kuning atau putih, putih diartikan barat, melambangkan Mahadewa, berwatak sombong dan angkuh, pedas bila berbicara, lambang lain yang tersirat, burung pondang sejatinya, sama dengan lambang angin. Bagi sang pangeran dalem, Perahu ini yang tepat, warna kuning lambang raja, atau anak lelakinya. Warna kuning sejatinya, utama untuk manusia, yang ingin hidup sempurna, terutama calon raja, agar waluya hidupnya. Tunda !!!

-o0o-

Kita tinggalkan Pangeran, didalam pengembaraan, naik perahu si colat, menuju kearah timur.

Alkisah di Nusa Bali, rajanya gagah perkasa, namun sayang berangasan, Demang Patih Naga Bali, itulah nama sang raja. Sang Raja di Nusa Bali, dikawal dua ponggawa, Munding Rarangin namanya, Gajah Rarangin kedua. Ia pun berputri tiga, ayu jelita rupawan, Nyi Geulang Rarang pertama, Keduanya Rarang Nimbrang  Inten, dan Bagadaya Panutup Sungging.

Kisah Munding Sanggawati, sampailah di Nusa Bali, Parwakalih mengingatkan, agar Pangeran waspada. Seperti lajim bertamu, harus jaga sopan satun, menghormati tuan rumah, tertib hidup tertib laku, jangan menyinggung pribumi. Purwakalih mepelingan, sapun ka nu gaduh lembur, amit kanu gaduh bumi, tabe kanu gaduh bale, map ka juragannana, mun deuk asup kanagara, amit tabe ka sang raja.

Sang pangeran masih muda, kadang sering lali diri, lupa nasehat pengasuh. Setiba di Nusa Bali, ia berkeliling kota, memutar tembok keraton, mencari apa yang ada. Munding Sanggawati lupa, mengetuk pintu kaputren, bertemu putri jelita, di tempat Elong Kencana. Mereka pun jatuh cinta, lupa disekelilingnya, langsung masuk ke kaputren, sanghyang pagulingan tempatnya. Sedangkan para pengasuh, mulai kesal menunggu, sudah lewat waktu lama, sang pangeran urung tiba, perginya entah kemana.

Di keraton Nusa Bali, konon putrinya sang raja, Geulang Rarang Nimbrang Inten, bermimipi disiang hari. Waktu itu hari jum’at, sang putri tidur terlelap, lantas iapun bermimpi, sang putri tertindih langit, merasakan bumi lembek, beringin daunnya rontok, diterpa kencangnya angin. Matahari pun begitu, tidak akur dengan bulan, hingga muncul bintang timur, dari bagian selatan. Ketika ia terbangun, bergegas mencari Raka, sang raja di Nusa Bali.

Geulang Rarang bercerita, tentang mimpi tadi siang, keraton hening sejenak, mendengar pitutur putri. Tidak sebegitu lama, setelah raja merenung, ia sangat memahami, perlu laku yang waspada. Sang Raja Bali memanggil, para pengawal keraton, seraya di perintahkan, segera ronda kaputren. Perintah pun ditaati, aki lengser ikut nimbrung, niat membantu meronda. Namun purwakalih iseng, menakut-nakuti lengser, hingga lari tak kepalang, konon kencing dicelana.

Bagi para pengasuhnya, jadi serba salah tingkah, karena Sang raja Nusa, langsung menangkap Pangeran. Akibatnya sangat parah, Sang Pangeran Pajajaran, serta para pengasuhnya, dijebloskan ke penjara. Purwakalih agak kesal, seraya ia berkata, mengapa tak menuruti, nasehat yang diberikan, harus pamit harus ijin, bertamunya harus sopan. Purwakalih mengingatkan, tujuan ke Nusa Bali, sang Pangeran yang berniat, mencari ilmu sempurna. Untuk menghilangkan kesal, merekapun bersemedi, siapa tau ada rakyat, dari negeri Pajajaran, berkunjung ke Nusa Bali. Jika saja nanti ada, mereka akan meminta,  agar dapat dilepaskan, dari sang jeruji besi. Rupanya waktu berlangsung, sang penolong belum datang, hampir tak ada harapan, hanya semedi lakunya.

-o0o-

Ketika pergi merantau, Munding Sanggawati ke timur, sang Aci Melati ngandeg, mengandung seorang bayi. Baru berumur sebulan. Setelah diperiksakan, ternyata sudah saatnya, putri harus melahirkan. Dipanggilnya Ua Lengser, untuk mencari paraji, indung beurang disebutnya. Sang bayi pun lahir mulus, tanpa setetes pun darah, keluar rahim sang bunda. Jangankan setetes darah, air tuban pun tak ada, kering bersih sebiasa. Sang bayi pun di periksa, dengan cermat dan teliti, ternyata kelahirannya, sang bayi tidak berpusar.

Tiga hari telah lewat, sang bayi mulai menangis, ngoceak maratan langit, teu daekeun dipepende, tidak diketahui sebab. Oleh sang Nini Paraji, diberikan nama bagus, Anggawarilang namanya, namun bayi terus nangis, tak ada henti-hentinya, akhirnya ibu si utun, memberikan nama baru, Geulang Rarang wasta bayi. Tapi bayi masih nangis, tak pula mau berhenti, hingga sang Munding Malati, segera datang menjenguk. Tiba rasa kesal hati, dilemparnya bayi mungil, hingga terbang keangkasa. Sang bayi jatuh ke bumi, tertahan setangkai kembang, tangannya terselip dahan, di batang cempaka warna. Si bayi tak henti nangis, suaranya makin keras, membuat pekak telinga, hingga tembus swargaloka.

Kocap di Sanghiyang Nunggal, gedung sigrong kahiyangan,  Sunan Ambu mendengarkan, jeritan pilu si mungil. Tibalah belas kasihan, mendengar tangis sang cucu, ia pun turun kebumi, menimang sibayi lucu. Sang Nenenda pun memuji, dengan membelai si utun. Sunan Ambu menyatakan, inilah cucunda sayang, :

lelaki langit lalanang jagat,
alap-alap mega malang,
kawaya di alam dunya,
sugan sikasei deui,
jadi harimeumeu dunya.

Sunan Ambu pun menimang, bernyanyi lagu nasehat, berisi tentang ajaran, yang lajim disenandung, urang sunda masa buhun :

Geura itung mana kasep puluh-puluh
Petek lawe-lawe
Bilang widak-widak
Sawindu kasep dalapan taun
Sataun dua belas bulan
Sabulan tilu puluh poe
Poe tujuh dawuhan lima

Nu lima geura opatkeun
Nu opat geura tilukeun
Nu tilu geura duaeun
Nu dua geura tunggalkeun
Tunggal di awak sikasep

Nasehat sang Sunan Ambu, berintikan pesan moral, bagi manusia yang hidup, di buana panca tengah. Kandungan nasehat itu, berpesan moral kasundan, yang wajib diketahui, para pemimin sejati. Mungkin dapat di maknai, bagi manusia lainnya, yang rindukan harmoni, pencari kesempurnaan.

Makna ini pun tersirat, dalam penamaan bayi, lahirnya dan menggemparkan, bernama Badak Pamalang. Teureuh manusia kasundan, disebut lalaki langit, katelah  lalanang jagat, memiliki dua unsur, yang harus tetap bersatu. Manusia takdir hidupnya, di buana pancatengah, di bumi ngaran kiwari. Namun kesejatiannya, tak bisa tinggalkan moral, yang diatur dari langit. Inilah kesempurnaan, antara langit dan bumi, bersatu menjadi tungal, ada didiri manusa.

Badak Pamalang terlahir, sebagai lalaki langit, dan juga lalanang jagat. Badak hidup didunia, di alam manusia ada, ia melambangkan unsur, makhluk yang hidup di bumi. Kedua nama Pamalang, disebutkan mega malang, melambangkan unsur langit. Badak Pamalang artinya, disebut manusia sempurna, kelak menolong pamannya, yang hendak menjadi ratu, dan menak anu waluya.

Cobalah kita maknai, nasehat sang Sunan Ambu, makna yang berpuluh-puluh, artinya banyak sekali, takan terhitung jumlahnya. Sewindu itu delapan ; setaun dua belas bulan ; sebulan itung harinya. tiga puluh biasanya ; seminggu harinya tujuh ; tujuh bisa jadi lima. Inilah mandala waktu.

Dalam visi kasundaan, masyarakat yang agraris, terdapat keserasian, antara diri dan alam. Semua akan terungkap jika membaca tandanya, mengenal mandala waktu. Mandala waktu sapasar, terdiri unsur yang pasti. Pertama Legi - umanis, berada diruang timur ; Kedua harinya pahing, berada di belah barat ; ketiga yang disebutnya, Pon yang sering disebutkan, bersemayam belah barat ; Keempat nama Uwage, sering diucapkan wage, bersemayan di Utara ; kelima itu pusatnya, dengan sebutan Kaliwon.

Bila lima jadi empat, maka hilanglah pusatnya, yang empat pasang pasangan, pon–pahing dan wage–legi. Dari penghadapan ini , muncul dualisme waktu, seperti siang dan malam. Namun dari empat itu, harus dijadikan tiga. Kembali yang berpasangan, harus disatukan lagi, menjadi pasangan tunggal, dengan tetap satu pusat. Tiga dijadikan dua, tandanya pasang-pasangan, ada siang ada malam, itulah hakekat hidup, untuk saling melengkapi. Dua dijadikan satu, disebutkan juga tunggal, inilah hakekat waktu “Sang Hyang Tunggal” unina. Saestu Sanghyang Tunggal, tak terbatas oleh waktu, sebab ragamnya sang waktu, miliknya Sanghyang Tunggal. Ragamnya waktu terbelah, ada siang ada malam. Tetapi bagi yang tunggal, tidak ada pembedaan, harmoni siang dan malam, artinya tidak terbelah, bukan siang bukan malam, tetapi tetap menyatu. Unsur yang tidak berwaktu, juga Yang Tidak berwaktu, bersemayam dalam diri, setiap manusia hidup.

-o0o-

Kita kembali ke timur, di Nusa Bali tempatnya, kisah ini dikisahkan, yang syarat dengan maknanya. Demang Patih Naga Bali, memiliki burung elang, badannya tidak berbulu, namun ia bisa terbang. Sang elang mau bertelur, ia menghadap majikan, segera minta petunjuk, dimana ia bertelur. Sang Demang memerintahkan, pergilah engkau kehutan, segera buat sarang mu, didahan pohon beringin, menjorok kearah timur. Itulah pohon beringin, terbesar di Nusa Bali, menjorok kekebun bunga.

Maka pergilah sang Elang, bertelur dan mengerami, hingga menetas sang bayi. Konon ada dikisahkan, anaknya sebesar kerbau, mulutnya terus menganga, tak henti meminta makan. Kebingungan pun melanda, rasa sang elang induknya, ia pun menghadap raja, memintakan petunjuknya. Sang raja memerintahkan, agar anaknya si Elang, diberi makan menjangan, kucing, anjing atau kuda, ternak lainnya pun boleh. Tapi jika tidak cukup, boleh diberi makanan, setiap hewan yang hidup, dihutan tempat si Elang. Namun masih belum cukup, sang anak masih menganga, kelaparan tak hentinya, hewan hutan pun tlah habis.

Sang Elang menghadap raja, mohon petunjuknya lagi, tentang anaknya yang lapar, tak puas diberi makan. Sang Demang memerintahkan, agar diberi makanan, manusia pun boleh saja, asal bukan orang Nusa. Elang terbang keangkasa, mencari makan sang anak, manusia siapa saja, yang penting bisa dimakan. Elang melihat ke bawah, nampak ada bayi hidup, sang bayi tergantung dahan, hidup dibatang cempaka. Pohon Cempaka tempatnya, diwilayah Pajajaran, inilah Badak Pamalang, yang tadi telah ditendang, oleh Sang Munding Malati. Sang bayi disambar elang, dibawa ke Nusa Bali. Setiba elang di sana, dijadikan makanan elang, untuk anaknya yang lapar.

Didalam perut si anak, Badak Pamalang terbangun, ia tidak bisa mati, malah tumbuh makin besar. Anak Elang pun tak lapar, makin hari makin besar, kotorannya jadi pupuk, memenuhi kebun bunga. Badak Pemalang tlah lama, tak kurang sembilan bulan, hidup dalam perut elang, berjalan-jalan sendiri, di usus sang anak elang.

Hingga pada suatu hati, malah berniat keluar, lewat dubur anak elang, dari mulut tak berani, karena takut di patuk, dimakan lagi sang anak. Setiba diluar dibur, Badak Pamalang menarik, duburnya sang anak elang, hingga tak tertahankan lagi, anak elang jadi mati. Sang induknya sangat marah, ia mematuk kembali, namun sang Badak Pemalang, mengulangi jalan tadi, keluar dari duburnya, sambil menarik duburnya, sang elang tewas disarang.

Pemaknaan kisah ini, konon dengan silib sampir, siloka pun pasti ada. Dikisahkan Juru Pantun, ditelan Badak Pamalang, dalam tubuh anak elang, sembilan bulan masanya, tentu sarat melambangkan, adanya ruwatan bayi, hingga terlahir kembali. Menurut visi pemantun, Sang bayi harus berproses, maka dikelak nanti, tumbuh manusia sempurna, lelaki langit yang sakti, membawa pesan sejati, moral langit yang hakiki.

-o0o-

Kisah Sang Badak Pamalang, setelah tuntas lampahnya, Dari perutnya sang Elang, berada di taman Bunga, milik negeri Nusa Bali. Taman bunga milik negeri, terletak dekat kaputren, tempatnya Elong Kencana. Di kaputren itu juga, Lenggang Kencana pun tinggal, adik raja yang satunya, berparas ayu rupawan.

Konon Sang Badak Pamalang, kerjanya memetik bunga, terutama bunga indah, dipetiknya hingga habis. Pada suatu hari, Lenggang Kencana pun tiba, mengunjungi taman bunga, yang bunganya sangat indah. Melihat taman yang rusak, sang putri pun sangat marah, namun apa di kata, sang perusak tidak tampak. Namun sang putri melihat, ada anak kecil tiba, ia pun jatuh kasihan, di peluk dan diciumnya. Badak Pamalang gembira, apalagi dibawanya, masuk kedalam kaputren, dibuatkan tempat main, ayunan yang biasanya, disukai anak kecil.

Pada waktu bersamaan, Sang Raja keliling kraton, niat memeriksa negri, memastikan keamanan. Sampai ia di Kaputren, mendengar keceriaan, adiknya tertawa renyah, sambil bersenandung riang, berteman Badak Pamalang, yang sedang main ayunan. Naga Bali mengetuknya, kaputren Elong Kencana, lantas iapun bertanya, kepada adik terkasih. Sang Kakanda menanyakan, ada tamu dari mana, nampak bukan dari sini, karena logatnya beda. Sang putri menjawab bohong, ia takut kena marah, tak mau bukakan pintu, agar tamunya tak nampak. Sang kakak terbit amarah, di dobrak pintu kaputren, hingga nampak anak kecil, Sang Badak Pamalang tadi. Kakanda berujar berang, anak ini berbahaya, jika besar jadi musuh, membunuh seisi negeri. Sang Kakak memerintahkan, Badak Pamalang dibunuh, agar tidak jadi momok, menghancurkan isi negri.

Dikisahkan selanjutnya, Sang putri tetap tak rela, Badak Pamalang dibunuh, karena ia masih kecil, tak mungkin membunuh orang. Sang kakak pun tetap marah, menarik Badak Pamalang, ditendangnya anak itu, sang anak hanya tersenyum, bagai tidak kesakitan. Sang raja makin amarah, memukulkan dengan gada, besi malela namanya. Badak Pamalang tersenyum, berujar yang sangat aneh, “paman pijatannya kurang keras”. Sang raja makin amarah, dibawa Badak Pamalang, ketempat penempa baja, ditekan alat penempa, dari atas dari bawah. Badak Pamalang berujar, “paman, tekanlah yang keras, pijitannya masih lunak, aku tidak merasakan”. Sang raja makin keras, menekankan penempaan, namun apa dikata, alatnya malahan hancur. Upaya raja terakhir, menggunakan ilmu sakti, jarang yang bisa bertahan, merasakan tempelengnya. Ketika mengangkat tangan, rasa sakit tak tertahan, seolah tangannya lumpuh, tak bisa ia gerakan. Sang raja memanggil lengser, untuk mengusir encoknya, dengan cambuk milik dia. Setelah sang raja sembuh, ia lari ketakutan, bersembunyi ditempat sunyi, dikolong ranjang tempatnya. Sang raja makin gemetar, takut tiada kepalang, dikejar si anak kecil, dikira hendak membunuh.

Setelah sang raja lari, Badak Pamalang pun pergi, mencari Lenggang Kencana, yang telah diaku ibu. Ketika ia keliling, tak kunjung juga bersua, ia ciptakan mustika, bernama mustika anjing. Mustika pun diperintah, menyusur jejak ibunda, dilacak hingga ke ujung, sampailah di air terjun, Cimande Racun tempatnya. Badak Pamalang pun kaget, melihat ibunya mati, karena ia bunuh diri, tak tahan menanggung sedih, dikira sang anak mati. Badak Pamalang pun matek, aji yang ia yakini, dapat menghidupkan orang, yang belum saatnya mati. Lenggang Kencana pun bangun, kaget melihat si anak, merekapun berpelukan, lantas pulang ke kaputren.

Ibu dan anak bahagia, hidup didalam istana, namun sang Badak Pamalang, hidupnya serasa sepi. Untuk usir rasa sepi, ia memohon ibunda, agar dicarikan teman, untuk bermain bersama. Lenggang Kencana pun surti, dicari teman mainnya, dapatlah seekor ayam. Sang ayam sangat lah pandai, bercakap-cakap biasa, ngobrolnya seperti teman, hingga betahlah sang anak. Sang ayam pun punya nama, layaknya bagai manusia, ia diberikan nama, Kentri Haji Mala Dewa.

Dalam suatu percakapan, si Kentri pun berceloteh, di jeruji bawah tanah, ada Satria tahanan. Badak Pamalang terhenjak, mengajak menengok bui, lantas ia pun melihat, satria dan pengasuhnya. Setelah ia tanyakan, gerangan satria ini, lantas satria mengaku, nama Munding Sanggawati. Badak Pamalang pun iba, melihat penderitaan, satria tahanan ini, yang lama telah disekap, badannya pun sangat kurus. Badak Pamalang bersiap, untuk mendobrak penjara, tak lama waktu berselang, penjara pun telah hancur. Keluarlah kesatria, bersama para pengasuh, merekapun sangat lunglai, sudah lama tidak makan. Badak Pamalang berlalu, mengajak ayam si Kentrik, guna mencari makanan, berduaan masuk hutan.  Di hutan nampak manusia, kakek dan nenek berdua, Keduanya sedang asyik, membuat keranjang bambu. Badak Pamalang meminta, sepasang keranjang besar, agar dapat digunakan, sebagai wadah makanan. Pergilah Badak Pamalang, kepasar yang paling dekat, mencari makanan itu, sesuai yang dibutuhkan. Badak Pamalang pun tiba, dipasar yang sangat ramai, ia minta kepedagang, makanan yang dibutuhkan. Usai makanan terkumpul ia pun menyerahkannya, kepara tahanan tadi, agar bisa dimakannya.

Setelah mereka pulih, ucapkan terima kasih, tak lupa juga bertanya, jati diri penolongnya. Badak Pamalang pun wakca, jelaskan jatidirinya, ibunda Aci Malati, sang ayah Munding Malati. Alangkah senang mereka, ternyata sang penolongnya, teureuh asli Pajajaran, putra adik Sanggawati. Munding Sanggawati berujar, wakca kenalkan dirinya, dialah kakak ayahnya, dari Sang Badak Pamalang. Tak lupa ia kisahkan, ketika pergi merantau, ia tinggalkan adiknya, yang hamil baru sebulan, itulah Badak Pamalang, sekarang dihadapannya.

Sang Badak Pamalang pun pamit, hendak mencari pakaian, untuk ganti pakaiannya, busana para uanya. Badak Pamalang pun mampir, pamit ke ibu angkatnya, ia pun meminta karung, diisi sampah dan beling. Diatas ia tempelkan, lempengan emas sedikit. Ia pun memanggul karung, dibawa ke pelabuhan, mencari para pedagang, untuk ditukar pakaian. Kepada para pedagang, Badak Pamalang tawarkan, karung emas yang dibawa, dapat ditukar pakaian. Sang pedagang pun setuju, dikira emas batangan, ia pun memerintahkan, untuk mengangkat barangnya. Para awak kapal itu, tak mampu mengangkat barang, padahal orangnya banyak, masih juga tak terangkat. Badak pemalang mengangkat, nampak barang sangat ringan, hingga tak memakan waktu, barang sudah dikapal. Sang pedagang menyerahkan, pakaian yang dibutuhkan, tujuh perangkat pakaian, yang bagus dan masih baru. Alangkah kaget Nakhoda, setelah membuka karung, ternyata isinya sampah, diperberat beling kaca. Namun sang nakhoda sadar, urungkan niat marahnya, ia juga sangat tahu, anak itu masih kecil, ia punya kesaktian, akhirnya nakhoda diam, ikhlaskan barangnya pergi.

Badak Pamalang pun tiba, di tempat para uannya, lantas diserahkannya, pakaian yang ia dapat. Setelah ganti pakaian, para uanya berniat, bertemu dengan ibunya, Lenggang Kencana yang cantik. Namun tentu dilarangnya, bertamu masuk kaputren, kaputren sangat terlarang, menerima tamu asing. Kidang Pananjung berfikir, ia gunakan sirepnya, buat seisi kaputren, tertidur lelap ditempat. Merekapun bisa masuk, bertemu dengan sang Putri. Alangkah cantik sang putri, seperti dalam impian, tertegun nampak mereka, kagumi Lenggang Kencana.

-o0o-

Terkisah Badak Pamalang, pamit tunaikan tugasnya, menaklukan Nusa Bali, sesuai yang ditakdirkan. Ia dibekali do’a, ajian pun sangat lengkap, dari Sang Lenggang Kencana, Munding Sanggawati tak tinggal. Tak lupa sang Gelap Nyawang, Kidang Pananjung berikan, serta dari Parwa kalih. Lengkaplah isi dirinya, tak ada yang tersisakan, ilmu lahir ilmu bathin, telah dilahap semua.

Langkah yang dilakukannya, menghancurkan kabuyutan, agar semua tuahnya, merasuk dalam dirinya. Kabuyutan yang pertama, bernama Beusi Malela. Kabuyutan yang kedua, yang bernama Beusi Kuning. Kemudian selanjutnya, Tiwuan Gatung - Oray Laki. Kabuyutan yang terkahir, Kancah Malela namanya. Semakin banyak yang hancur, makin bertambah saktinya, hingga sang Badak Pamalang, menjadi tak terkalahkan.

Makna dari kabuyutan, berciri konsep mandala, memiliki kesakrakalan, yang paling dipertahankan. Kisah ini pun bermakna, penghancuran satu negeri, didahului mandalanya, pusat harga diri raja, katut nagara dan bangsa. Demikian Pajajaran, ketika dikalahkannya, semula dari Cirebon, menuju kearah Banten, akhirnya masuk ke Sentral, ke Pakuan yang di Bogor.

Di keraton Nusa Bali, Badak Pamalang pun tiba, menantang para panglima, yang konon sangatlah sakti. Pertama Munding Rarangin, anggap enteng anak kecil, kedua Gajah Rarangin, meremehkan tantangannya. Namun dalam satu pertempuran, mereka pun dikalahkan, bahkan diliuar dugaan, tewas naas keduanya.

Tak cukup sampai disitu, juga raja Nusa Bali, tak luput dari incaran. Perang tanding pun terjadi, seperti sangat seimbang, namun papasten Hyang Widi, sang raja akhirnya kalah. Raja takluk terus nyerah, menyerahkan isi negeri, raja pun terus berjanji, mengabdi ke raja baru. Sang Badak Pamalang surti, hidupkan dua Panglima, yang telah dipecundangi, agar dapat mengabdikan, dirinya kepada negeri. Demikian dua panglima, akhirnya ia berjanji, mengabdi ke Nusa Bali, dengan rajanya yang baru .

Sang Badak Pamalang lanjut, menyerahkan Nusa Bali, kepada ibu angkatnya, Lenggang Kencana yang cantik, adik raja Nusa Bali. saat telah jatuh krami, dengan Munding Sanggawati, keduanya hidup rukun, konon kisah selanjutnya, raja Munding Sanggawati, adil pimpin Nusa Bali. Cag.

-o0o-

Tentang negara yang disebutkan di dalam pantun ini, mungkin hanya negara sastra, atau hanya dalam karya sastra, tapi tidak diunggelna. Namun seperti biasanya, Juru Pantun  meninggalkan simbol dan pemaknaan yang luas tentang tertib hidup urang sunda buhun, berbasis budaya agraris. Masyarakat agraris biasanya sangat menyatu dengan alamnya, ia mampu menciptakan keseimbangan, dalam suatu bentuk harmoni.

Sebagai manusia Sunda yang hidup dimasa kini, ada beberapa pemaknaan yang bisa didapatkan. Pertama tentang bagaimana seorang manusia harus mampu belajar (disimbolkan mengembara) untuk bersiap diri menghadapi masa depan. Hal ini sangat banyak manfaat bagi seorang calon pemimpin.

Kedua, ada nasehat yang paling baik tentang tertib bertamu (dipangumbaraan), seperti pepatah Sunda “pindah cai pindah tampian”. Urang Sunda harus mampu hidup dibelahan dunia mana saja (tampian), namun urang sunda pun mampu memperlihatkan kesejatian dirinya sebagai manusia seutuhnya (cai). Juru Pantun dengan apik menjelaskan tentang larangan yang dilanggar Munding Sanggawati di Nusa Bali. Yang jelas, Mundingsanggawati dihukum karena ngarumpak larangan adat yang berlaku didaerah tertentu. Disini pula mengandung ajaran tentang bagaimana manusia Sunda harus dapat menghargai orang lain yang memang tidak memiliki adat (budaya) yang sama.

Ketiga, nama Badak Pamalang, dilambangkan sebagai satu kesatuan antara moral langit dengan manusia yang hidup didunia. Badak berarti makhluk hidup yang ada di bumi, sedangkan pamalang, atau mega malang melambangkan dunia atas, yang memiliki kesahihan moral, namun bisa dijalankan dengan baik, jika ditaati dan patuhi pengisi bumi. Ajaran langit dapat membentuk kesimbangan jika mampu hidup dengan kebutuhan manusia. Dengan cara ini akan ngancik didalam rohani manusia. Tentang pertentangan dan keegoan langit terhadap bumi, juga sebaliknya, mungkin dapat dimaknai dari kisah Pantun Mundingkawati. Seseorang yang memiliki pasport sebagai pembawa ajaran langit harus dapat hidup seimbang dengan manusia lain yang ada di bumi. Jika tidak dapat diselarsakan maka mengancam kehidupan itu sendiri (***).


Disarikan Oleh : Agus Setia Permana
Sumber Bacaan :
·        Khazanah Pantun Sunda, sebuah interprestasi, Jakob Sumardjo, Kelir, Bandung – 2006.
·        Lima Abad Sastra Sunda, sebuah antologi, Jilid I, Geger Sunten Bandung – 2000.



.

Hatur Punten

Untuk perbaikan dan sarana dimohon untuk tinggalkan PESAN, Jawaban dan Hasinya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun



Rajah Cikuray.wmv by Agus 1960